Minggu, 18 Mei 2008

KARIKATUR: LUCU RUPA CERMIN DIBELAH


Sudah menjadi rahasia umum, banyak pejabat dan para pesohor yang kegerahan dan meradang saat diangkat menjadi objek karikatur. Karikatur pada dasarnya bukan semata-mata “pemiuhan” (deformasi) atas bentuk fisik tokoh yang bersangkutan, seperti ukuran kepala yang tidak proporsional misalnya, lebih jauh dari itu pesan kritis atau kritik sosial yang menyertainya.
Boleh dibilang, karikatur enak dan lucu dikonsumsi oleh khalayak, tetapi menjengkelkan bagi subjek penderitanya. Di era Orde Baru, media cetak harus ekstra hati-hati saat mengangkat karikatur tokoh dan peristiwa. Terlebih saat itu lembaga telepon menjadi sarana ampuh membungkam pers kritis. Banyak karikaturis ternama saat itu mengakui banyaknya ranjau kebebasan saat menggoreskan pena karikaturalnya.
Karikatur menjadi serius, begitu ujar karikaturis GM Sudharta, bukan saja lucu tetapi juga harus berisikan kritik bernas yang “menghibur”. Paling tidak pada saat itu setiap kritik sosial yang diangkat ke dalam karikatur sangat kental dengan formatnya yang eufimisme. Istilah GM Sudharta yang kondang lewat tokoh Oom Pasikom di HU Kompas, karikatur harus dikemas dengan humor atau guyonan tepo seliro. Itu cerita masa lalu, bagaimana kondisi karikatur sekarang?

KARIKATUR DI ERA KEBEBASAN
Kini, setelah melalui Era Orde Lama dan Baru yang sama-sama memasung kebebasan berekspresi, karikatur memasuki fase dimana kritik tidak perlu dikemas secara tepo seliro. Media-media cetak lama dan baru berlomba-lomba melontarkan kritik melalui karikatur nyaris tanpa dihantui momok sensor. Yang terjadi kemudian eksploitasi karikatur sebagai wahana kritik sosial dan personal nyaris tanpa etika. Berbagai surat kabar dan majalah sekarang menampilkan karikatur yang tidak sekedar kritis tetapi juga sarkastis, menyerang kehormatan dan terkadang melecehkan asas praduga tak bersalah. Tidak sedikit karikatur sekarang bukan saja tidak lucu, tetapi juga ompong daya kritisnya.
(bersambung)

Tidak ada komentar: